I. Pendahuluan
Dalam siklus hidrologi, air hujan jatuh
ke permukaan bumi, sebagian masuk ke dalam tanah, sebagian menjadi
aliran permukaan, yang sebagian besar masuk ke sungai dan akhirnya
bermuara di laut. Air hujan yang jatuh ke bumi tersebut menjadi sumber
air bagi makhluk hidup.
Curah hujan di wilayah Indonesia cukup
tinggi, yaitu 2.000 – 4.000 mm/tahun dapat menjadi sumber air bersih,
tetapi sering menimbulkan banjir pada musim penghujan, karena air hujan
tidak dapat meresap ke tanah seiring dengan menurunnya daerah resapan.
Di sisi lain dengan pertumbuhan jumlah
penduduk, maka kebutuhan air bersih meningkat, diperkirakan pemanfaatan
air tanah untuk memenuhi kebutuhan penduduk sebesar 100 liter/
hari/orang.
Pemanfaatan air tanah yang berlebihan
akan menimbulkan dampak negatif antara lain: intrusi air laut,
penurunan muka air tanah, amblesan tanah (land subsidence) yang
menyebabkan genangan banjir dimusim penghujan. Sementara itu alih
fungsi lahan pada daerah resapan akan menurunkan resapan air hujan,
sehingga terganggunya ketersedian air bersih.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut di
atas, maka perlu dipertahankan kesetimbangan melalui proses pengambilan
dan pengisian air hujan (presipitasi dan infiltrasi) dengan meresapkan
ke dalam pori-pori/rongga tanah atau batuan, serta dilakukan upaya
konservasi air.
Prinsip dasar konservasi air adalah
mencegah atau meminimalkan air yang hilang sebagai aliran permukaan dan
menyimpannya semaksimal mungkin ke dalam tubuh bumi. Atas dasar
prinsip ini maka curah hujan yang berlebihan pada musim hujan tidak
dibiarkan mengalir ke laut tetapi ditampung dalam suatu wadah yang
memungkinkan air kembali meresap ke dalam tanah (groundwater recharge)
melalui pemanfaatan air hujan dengan cara membuat kolam pengumpul air
hujan, sumur resapan dangkal, sumur resapan dalam dan lubang resapan
biopori. Pemanfaatan air hujan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain curah hujan, nilai kelulusan batuan (konduktivitas hidrolik), luas
tutupan bangunan, muka air tanah, dan lapisan akuifer. Agar dapat
terimplementasikan pada masyarakat atau pengelola bangunan maka
diperlukan tata cara pemanfaatan air hujan.
II. Tata Cara Pembuatan Kolam Pengumpul Air Hujan, Sumur Resapan dan Lubang Resapan Biopori
A. Kolam Pengumpul Air Hujan
1. Kolam Pengumpul Air Hujan di atas Permukaan Tanah
Cara ini diperuntukkan bagi lokasi yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
- muka air tanah dangkal < 1 m;
- jenis tanah yang mempunyai kapasitas infiltrasi rendah seperti lempung dan liat; atau
- kawasan karst, rawa, dan/atau gambut.
b. Konstruksi
- membuat saluran air dari talang bangunan (dengan bahan PVC) ke dalam kolam pengumpul air hujan;
- membuat kolam pengumpul air hujan dari beton, batu bata, tanah liat
atau bak fiber/aluminium, dilengkapi dengan saluran pelimpasan keluar
dari kolam pengumpul air hujan; dan
- membuat penutup kolam pengumpul air hujan.
c. Pemeliharaan
- membersihkan talang dan saluran air dari kotoran seperti ranting, dedaunan agar tidak tersumbat; dan/atau
- melakukan analisis laboratorium untuk mengetahui kualitas air di dalam kolam pengumpul air (bila perlu).
2. Kolam Pengumpul Air Hujan di bawah Permukaan Tanah
Cara ini diperuntukkan bagi lokasi yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
- daerah bebas banjir;
- muka air tanah dangkal > 2 m;
- keterbatasan ruang di atas tanah; dan/atau
- daerah dengan ketinggian permukaan tanah minimal di atas 10 m di atas permukaan laut dengan luas lahan terbatas.
b. Konstruksi
- membuat saluran air (PVC) dari talang bangunan ke dalam kolam pengumpul air hujan;
- membuat kolam pengumpul air hujan dari beton, batu bata, atau bak
fiber/aluminium dilengkapi dengan saluran pelimpasan keluar dari kolam
pengumpul air hujan. Apabila kolam pengumpul tersebut dimanfaatkan
untuk keperluan sehari-hari maka dapat dilengkapi dengan pompa air yang
diletakkan pada permukaan tanah; dan
- membuat penutup kolam pengumpul air hujan.
c. Pemeliharaan
- membersihkan talang dari kotoran seperti ranting, dedaunan agar tidak tersumbat; dan/atau
- melakukan analisis laboratorium untuk mengetahui kualitas air di dalam kolam pengumpul air (bila perlu).
B. Sumur Resapan
1. Sumur Resapan Dangkal
Cara ini diperuntukkan bagi lokasi yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
- tinggi muka air tanah > 0,5 m; dan/atau
- berada pada lahan yang datar dan berjarak minimum 1 m dari pondasi bangunan.
- sumur resapan dangkal dibuat dalam bentuk bundar atau empat persegi dengan menggunakan batako atau bata merah atau buis beton;
- sumur resapan dangkal dibuat pada
kedalaman di atas muka air tanah atau kedalaman antara 0,5 – 10 m di
atas muka air tanah dangkal dan dilengkapi dengan memasang ijuk, koral
serta pasir sebesar 25% dari volume sumur resapan dangkal;
- sumur resapan dangkal dilengkapi dengan
bak kontrol yang dibangun berjarak + 50 cm dari sumur resapan dangkal
yang berfungsi sebagai pengendap;
- sumur resapan dangkal dan bak kontrol dilengkapi dengan penutup yang dapat dibuat dari beton bertulang atau plat besi;
- membuat saluran air dari talang rumah
atau saluran air di atas permukaan tanah untuk dimasukkan ke dalam
sumur dengan ukuran sesuai jumlah aliran. Sumur resapan yang sumber
airnya dialirkan melalui talang bangunan tidak perlu membuat bak
kontrol; dan
- memasang pipa pembuangan yang berfungsi sebagai saluran limpasan jika air dalam sumur resapan sudah penuh.
c. Pemeliharaan
- membersihkan bak kontrol dan sumur
resapan dangkal dengan mengangkat filter yang berupa ijuk, koral dan
pasir pada setiap menjelang musim penghujan atau disesuaikan dengan
kondisi tingkat kebersihan filter; dan/atau
- melakukan analisis laboratorium untuk
mengetahui kualitas air yang masuk ke dalam sumur resapan apabila
terdapat unsur-unsur tercemar. Parameter analisa air tanah dapat
mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 tentang
Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air.
2. Sumur Resapan Dalam
- diutamakan di daerah land subsidence dan/atau daerah genangan;
- penurunan muka air tanah dalam kondisi kritis;
- ketinggian muka air tanah > 4 m; dan/atau
- sumur resapan dalam dapat dipadukan dengan sumur eksploitasi yang telah ada dan/atau yang akan dibuat.
b. Konstruksi
- sumur resapan dalam dibuat melalui pemboran dengan lubang bor tegak
lurus dan diameter minimal 275 mm (11 inch) untuk seluruh kedalaman;
- diameter pipa lindung dan saringan minimal 150 mm (6 inch);
- kedalaman sumur resapan dalam disesuaikan dengan kondisi akuifer dalam yang ada;
- bibir sumur atau ujung atas pipa lindung terletak minimal 0,25 m di atas muka tanah dan dilengkapi dengan penutup pipa;
- saringan sumur bor harus ditempatkan tepat pada kedudukan akuifer
yang disarankan untuk peresapan. Apabila akuifernya mempunyai ketebalan
lebih dari 3 m, maka panjang minimal saringan yang dipasang harus 3 m,
ditempatkan di bagian tengah akuifer;
- ruang antara dinding lubang bor dan pipa lindung di atas dan di
bawah pembalut kerikil diinjeksi dengan lumpur penyekat, sehingga
terbentuk penyekat-penyekat setebal 3 m di bawah kerikil pembalut dan
setebal minimal 2 m di atas kerikil pembalut;
- ruang antara dinding lubang bor dan pipa jambang di atas kerikil
pembalut mulai dari atas lempung penyekat hingga kedalaman 0,25 m di
bawah muka tanah harus diinjeksi dengan bubur semen, sehingga terbentuk
semen penyekat;
- di sekeliling sumur harus dibuat lantai beton semen dengan luas
minimal 1 m2, berketebalan minimal 0,5 m mulai 0,25 m di bawah muka
tanah hingga 0,25 m di atas muka tanah;
- sumur resapan dalam dilengkapi dengan 2 buah bak kontrol yang
dibuat secara bertingkat dengan menggunakan batu bata, batako, atau cor
semen secara berhimpit berukur panjang 1 m, lebar 1,5 m, dan
kedalaman 1,5 m, dasar bak kontrol disemen; dan
- untuk bak penyaring, dibuat dengan kedalaman 1 m dan diisi dengan
pasir dengan ketebalan 25 cm, koral setebal 25 cm dan ijuk setebal 25
cm. Bak kontrol 2, dengan kedalaman 1,5 m diisi dengan ijuk setebal 25
cm, arang aktif setebal 25 cm, koral setebal 25 cm, dan ijuk setebal 25
cm.
c. Pemeliharaan
- membersihkan atau mengganti penyaring
dari kotoran dan endapan/lumpur yang menyumbat pada bak penyaring,
pada musim penghujan dan kemarau atau sesuai dengan keperluan; dan/atau
- melakukan analisis laboratorium untuk
mengetahui kualitas air yang masuk ke dalam sumur resapan. Parameter
analisa air tanah dapat mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
416 Tahun 1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air.
C. Lubang Resapan Biopori (LRB)
a. daerah sekitar pemukiman, taman, halaman parkir dan sekitar pohon; dan/atau
b. pada daerah yang dilewati aliran air hujan.
2. Konstruksi
a. membuat lubang
silindris ke dalam tanah dengan diameter 10 cm, kedalaman 100 cm atau
tidak melampaui kedalaman air tanah. Jarak pembuatan lubang resapan
biopori antara 50 – 100 cm;
b. memperkuat mulut atau pangkal lubang dengan menggunakan:
- paralon dengan diameter 10 cm, panjang minimal 10 cm; atau
- adukan semen selebar 2 – 3 cm, setebal 2 cm disekeliling mulut lubang.
c. mengisi lubang LRB dengan sampah organik yang berasal dari dedaunan, pangkasan rumput dari halaman atau sampah dapur; dan
d. menutup lubang resapan biopori dengan kawat saringan.
3. Pemeliharaan
a. mengisi sampah organik kedalam lubang resapan biopori;
b. memasukkan sampah organik secara berkala pada saat terjadi penurunan
volume sampah organik pada lubang resapan biopori; dan/atau
c. mengambil sampah organik yang ada dalam lubang resapan biopori
setelah menjadi kompos diperkirakan 2 – 3 bulan telah terjadi proses
pelapukan.
III. Kebutuhan Jumlah Kolam Pengumpul Air Hujan, Sumur Resapan dan Lubang Resapan Biopori
A. Jumlah Unit Kolam Pengumpul Air Hujan yang Diperlukan Berdasarkan Luas Tutupan Bangunan
B. Jumlah Unit Sumur Resapan Dangkal, Sumur Resapan Dalam dan Lubang
Resapan Biopori yang diperlukan berdasarkan Luas Tutupan Bangunan
C. Nilai Kelulusan Batuan (Konduktivitas Hidrolik) (m/hari) berdasarkan Jenis Batuan